Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu dalam rangka menghidupkan ajaran Islam, maka dia termasuk kategori shiddiqin dan derajatnya berada di bawah derajat kenabian.” (Al ‘Ilmu fadhluhu wa syarafuhu, hal. 141).
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya seluruh sifat yang menyebabkan hamba dipuji oleh Allah di dalam Al Qur’an maka itu semua merupakan buah dan hasil dari ilmu. Dan seluruh celaan yang disebutkan oleh-Nya maka itu semua bersumber dari kebodohan dan akibat darinya…” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 128). Beliau juga menegaskan, “Tidaklah diragukan bahwa sesungguhnya kebodohan adalah pokok seluruh kerusakan. Semua bahaya yang menimpa manusia di dunia dan di akhirat maka itu adalah akibat dari kebodohan…” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 101).
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah mengatakan, “Imam Ahmad mengatakan, “Menuntut ilmu dan mengajarkannya lebih utama daripada berjihad dan amal sunnah lainnya”. Karena memang ilmu itu adalah asas dan pokok urusan, bahkan dia merupakan ibadah paling agung serta kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang paling ditekankan. Bahkan dengan ilmulah Islam dan kaum muslimin tetap hidup. Adapun ibadah-ibadah sunnah memberikan manfaat hanya bagi pelakunya sendiri dan tidak meluas kepada orang lain. Ilmu itulah warisan yang ditinggalkan para Nabi dan cahaya yang akan menerangi hati. Orang yang mewarisinya adalah golongan Allah dan pembela-Nya, mereka adalah orang yang paling utama di sisi Allah, paling dekat dengan-Nya, paling takut kepada-Nya serta paling tinggi derajatnya” (Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 11).
Ilmu menumbuhkan rasa takut kepada Allah
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir [35] : 28). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada Allah adalah orang-orang berilmu yang mengenal Allah…Setiap kali pengetahuan dan ilmu tentang-Nya sempurna akan semakin besar dan semakin banyak pula rasa takut yang akan muncul di dalam dirinya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/349). Sa’id bin Jubair mengatakan, “Rasa takut adalah perasaan yang menghalangimu dari mengerjakan kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/349). Ibnu Mas’ud mengatakan, “Cukuplah rasa takut kepada Allah bukti ilmu seseorang. Dan cukuplah keterpedayaan karena [pemberian] Allah menjadi bukti kebodohan.” (Al ‘Ilmu fadhluhu wa syarafuhu, hal. 28).
Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Orang alim adalah orang yang merasa takut kepada Ar Rahman walaupun dia tidak menyaksikan-Nya, ia sangat menginginkan apa yang Allah iming-imingkan kepada dirinya, dan ia bersikap zuhud terhadap sesuatu yang akan membuat murka Allah.” Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa hakikat orang yang benar-benar mengenal Ar Rahman (Allah) adalah : [1] orang yang tidak mempersekutukan apapun dengan Allah, [2] menghalalkan sesuatu yang dihalalkan-Nya, [3] mengharamkan sesuatu yang diharamkan-Nya, [4] senantiasa menjaga pesan/wasiat-Nya, dan [5] meyakini dirinya pasti akan berjumpa dengan-Nya serta amalnya akan dihisab (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/349).
Sufyan Ats Tsauri menukil dari Abu Hayyan At Tamimi ucapan seorang lelaki, “Dahulu dikatakan bahwa ulama itu ada tiga macam; [1] Orang yang alim terhadap Allah dan alim tentang aturan Allah, [2] Orang yang alim tentang Allah namun tidak alim tentang aturan Allah, [3] Orang yang alim tentang aturan Allah namun tidak alim terhadap Allah. Orang yang alim terhadap Allah dan alim tentang aturan Allah adalah orang yang takut kepada Allah serta mengetahui batasan-batasan dan kewajiban-kewajiban. Sedangkan Orang yang alim tentang Allah namun tidak alim tentang aturan Allah adalah orang yang takut kepada Allah namun tidak mengerti seluk beluk batasan-batasan dan kewajiban-kewajiban. Adapun Orang yang alim tentang aturan Allah namun tidak alim terhadap Allah adalah orang yang mengerti seluk beluk batasan-batasan dan kewajiban-kewajiban namun tidak merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/350).
Bagian dari Shirathal mustaqim
Setiap kali shalat kita senantiasa memohon petunjuk kepada Allah agar diberi hidayah menuju dan meniti jalan yang lurus atau shirathal mustaqim. Apakah yang dimaksud shirathal mustaqim ? Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “(Shirathal mustaqim) adalah jalan terang yang akan mengantarkan hamba menuju Allah dan masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39). Maka mengamalkan ilmu merupakan bagian dari shirathal mustaqim.
Kemudian Allah memperjelas hakikat shirathal mustaqim di dalam ayat berikutnya, “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat” (Al Fatihah). Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Shirathalladziina an’amta ‘alaihim adalah jalan para Nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’ dan orang-orang shalih. “Bukan” jalan “orang-orang yang dimurkai” yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran dan tidak mau mengamalkannya, seperti halnya orang Yahudi dan orang lain yang memiliki ciri seperti mereka. Bukan pula jalan “orang-orang yang sesat” yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas kebodohan dan kesesatan, seperti halnya orang Nasrani dan orang lain yang memiliki ciri seperti mereka” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39). Syaikh Al Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pada hakikatnya amal adalah buah ilmu. Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu maka dia telah menyerupai orang Nasrani. Dan barangsiapa yang berilmu tapi tidak beramal maka dia telah menyerupai orang Yahudi” (Syarhu Tsalatsatil Ushul, hal. 22)
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu ada dalam rangka mencapai sesuatu yang lainnya. Ilmu diibaratkan seperti sebuah pohon, sedangkan amalan adalah seperti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh. Di dalam hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya”. Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama nyala api neraka. Di dalam sebuah sya’ir dikatakan,
Orang alim yang tidak mau
Mengamalkan ilmunya
Mereka akan disiksa sebelum
Disiksanya para penyembah berhala
(Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)
Ancaman bagi orang yang tidak mengamalkan ilmunya
Syaikh Nu’man bin Abdul Karim Al-Watr mengatakan, “Di dalam Al Qur’an Allah ta’ala sering sekali menyebutkan amal shalih beriringan dengan iman. Allah juga mencela orang-orang yang mengatakan apa-apa yang tidak mereka kerjakan. Allah mengabarkan bahwa perbuatan seperti itu sangat dimurkai-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan. Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah karena kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan” (QS. Ash Shaff [61] : 2-3). Di dalam shahih Bukhari [3267,3287,7098] dan Muslim [2989] diriwayatkan hadits Usamah bin Zaid, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat nanti akan ada seseorang yang didatangkan kemudian dilemparkan ke dalam neraka. Ususnya terburai, sehingga ia berputar-putar sebagaimana berputarnya keledai yang menggerakkan penggilingan. Maka penduduk neraka pun berkumpul mengerumuninya. Mereka bertanya, “Wahai fulan, apakah yang terjadi pada dirimu? Bukankah dahulu engkau memerintahkan kami untuk berbuat kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?”. Dia menjawab, “Dahulu aku memerintahkan kalian berbuat baik akan tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya. Dan aku melarang kemungkaran sedangkan aku sendiri justru melakukannya”. Oleh sebab itu ilmu harus diamalkan, shalat harus ditegakkan, zakat juga harus ditunaikan dan seterusnya. Karena sesungguhnya Allah tidak memiliki tujuan lain dalam menciptakan makhluk kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyaat [51] : 56)” (Taisirul Wushul, hal. 10).
Ilmu akan menjadi pembela atau penentangmu
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya” (HR. Tirmidzi 2341). Hal ini bukan berlaku bagi para ulama saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara agama maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian atau khutbah Jum’at yang di dalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah haram maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut. Dan terdapat hadits yang sah dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Al Qur’an itu adalah hujjah bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu” (HR. Muslim)” (Hushulul Ma’mul, hal. 18)
Hukum tidak mengamalkan ilmu
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata, “Beramal dengan ilmu itu ada yang apabila ditinggalkan menyebabkan kekafiran, ada yang menyebabkan terjatuh dalam kemaksiatan, dan ada yang membuat dirinya terjatuh dalam perkara yang makruh, dan ada yang apabila ditinggalkan boleh. Lantas bagaimanakah maksudnya? Ilmu itu terbagi menjadi beberapa bagian. Ilmu tentang tauhid, yaitu meyakini bahwasanya Allah sajalah yang berhak diibadahi. Maka apabila seorang hamba mengetahui ilmu ini lalu tidak beramal dengan ilmu ini sehingga dia berbuat syirik kepada Allah jalla wa ‘ala maka ilmunya itu tidak akan bermanfaat baginya. Maka bagi dirinya ketika itu meninggalkan amalan menyebabkan dia kafir. Dan terkadang bisa dikategorikan maksiat yaitu misalnya apabila seseorang mengetahui bahwa khamr itu haram diminum, haram dijual, haram dibeli, haram memberikannya, haram memintanya, dan seterusnya, kemudian dia menyelisihi ilmu yang dimilikinya, dalam keadaan dia mengetahui keharamannya tetapi dia tetap nekat melakukannya maka tindakannya ini dikategorikan kemaksiatan. Artinya dia telah terjatuh dalam dosa besar. Dan dalam pembahasan ini, ada ilmu yang apabila tidak diamalkan dihukumi sebagai hal yang makruh. Seperti contohnya apabila seseorang mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dengan tata cara tertentu yang termasuk sunnah-sunnah shalat kemudian dia tidak mengamalkannya maka ini makruh hukumnya. Karena dia telah meninggalkan sebuah amal sunnah, bukan wajib. Sehingga hukum meninggalkannya adalah makruh saja sedangkan mengamalkannya hukumnya mustahab. Terkadang beramal dengan ilmu itu mubah saja begitu pula mubah meninggalkannya. Seperti perkara-perkara mubah, kebiasaan dan semacamnya. Seperti misalnya apabila sampai kepada kita hadits bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai pakaian dengan model tertentu, atau cara berjalan beliau adalah demikian dan demikian. Perkara-perkara ini adalah sesuatu yang manusiawi dan kebiasaan saja, sebagaimana sudah kita pelajari bahwa hal seperti ini tidak termasuk perkara yang kita diperintahkan untuk menirunya. Sehingga tidak mengerjakannya adalah mubah sebab seorang muslim memang tidak diperintahkan untuk meniru perkara-perkara semacam ini. Yaitu perkara-perkara seperti tata cara berjalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, suaranya, atau hal-hal lain yang termasuk perkara manusiawi dan kebiasaan saja yang dilakukan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mengamalkan hal itu mubah saja. Dan terkadang bisa juga diberi pahala apabila disertai niat ingin meneladani beliau. Karena itulah maka meninggalkan amal dalam hal ini juga mubah. ..” (Syarh Kitab Tsalatsatul Ushul, hal. 5)
Karakter penuntut ilmu dan da’i sejati
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Ustaimin rahimahullah menyebutkan bahwa salah satu adab yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang dimiliki. Beliau mengatakan, “Sudah seyogyanya penuntut ilmu beramal dengan ilmunya, baik yang terkait dengan masalah akidah, akhlaq, adab maupun mu’amalah. Karena sesungguhnya inilah buah ilmu dan hasil yang bisa dipetik darinya. Seseorang yang membawa ilmu itu seperti orang yang membawa senjata. Bisa jadi senjata itu membelanya atau justru berbalik mengenai dirinya. Oleh sebab itulah terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Al Qur’an adalah hujjah pembelamu atau yang menjatuhkanmu” (HR. Muslim) Al Qur’an akan membelamu jika kamu beramal dengannya. Dan dia akan berubah menjadi musuhmu apabila kamu tidak mengamalkannya…” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 32)
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Salah satu akhlaq dan sifat yang semestinya bahkan wajib dimiliki oleh da’i adalah beramal dengan isi dakwahnya. Hendaknya dia menjadi teladan yang baik dalam perkara yang didakwahkannya. Bukan termasuk orang yang mengajak kepada sesuatu kemudian meninggalkannya. Atau melarang sesuatu tetapi kemudian dia sendiri justru melakukannya. Ini adalah keadaan orang-orang yang merugi, kita berlindung kepada Allah darinya. Adapun keadaan orang-orang yang beriman dan beruntung adalah menjadi da’i kebenaran, mereka mengamalkan ajakannya, bersemangat melakukannya, bersegera mengerjakannya serta berusaha menjauhi perkara yang dilarangnya. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang kalian sendiri tidak mengerjakannya. Sungguh besar murka Allah atas perkataan kalian terhadap sesuatu yang kalian sendiri tidak kerjakan” (QS. Ash Shaff [61] : 2-3) Allah Subhaanahu juga berfirman dalam konteks celaan terhadap kaum Yahudi karena mereka menyuruh orang untuk berbuat baik sementara mereka sendiri melupakan diri sendiri, “Apakah kalian menyuruh orang untuk mengerjakan kebaikan sedangkan kalian melupakan kewajiban diri kalian sendiri. Padahal kalian juga membaca Al Kitab. Tidakkah kalian memahami” (QS. Al Baqarah [2] : 44)…” (Wujuubu Da’wah ilallaah wa Akhlaaqu Du’aat, hal. 52)
Sarana mempertahankan ilmu
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Kemudian perlu dimengerti pula bahwa sebenarnya amal itu juga termasuk sebab supaya ilmu tetap ada dan bertahan. Oleh sebab itulah, dapat anda jumpai bahwa orang yang beramal dengan ilmunya akan mudah mengeluarkan ilmunya kapanpun dia mau. Adapun orang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmu yang didapatkannya sangat cepat hilang. Sebagian ulama salaf mengatakan, “Dahulu kami meminta pertolongan (kepada Allah) dalam rangka menghafalkan hadits dengan cara mengamalkannya”. Selain itu, ada pula ulama lain yang mengatakan, “Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang diketahuinya niscaya Allah akan mewariskan kepadanya ilmu lain yang belum dia ketahui. Dan barangsiapa yang tidak beramal dengan ilmu yang sudah diketahuinya maka sangat dikhawatirkan Allah akan melenyapkan ilmu yang dimilikinya”. Perkataan ini dianggap hadits oleh sebagian orang, padahal sebenarnya itu bukan hadits. Sebab itu hanyalah ungkapan yang disebutkan oleh Syaikhul Islam rahimahullah. Makna dari kalimat ‘Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum dimilikinya’ adalah Allah akan menambahkan keimanan dan menyinari pandangan mata hatinya serta membukakan baginya berbagai jenis ilmu dan cabang-cabangnya. Oleh sebab itu anda temukan orang alim yang senantiasa beramal selalu mendapatkan peningkatan dan memperoleh limpahan barakah dari Allah dalam hal waktu dan ilmunya. Dalil pernyataan ini terdapat di dalam kitabullah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang mencari petunjuk maka Allah akan tambahkan kepada mereka petunjuk dan Allah anugerahkan kepada mereka ketakwaan” (QS. Muhammad [47] : 17) Asy Syaukani mengatakan, “Artinya Allah akan menambahkan kepada mereka keimanan, dan ilmu serta bashirah/pemahaman dalam beragama. Sehingga maknanya, orang-orang yang mencari hidayah dengan meniti jalan kebaikan, mereka beriman kepada Allah dan mengamalkan perintah-Nya niscaya Allah akan tambahkan keimanan, ilmu dan bashirah dalam beragama kepada mereka”. Maka seorang muslim hendaknya mengenali urgensi mengamalkan ilmu.” (Hushulul Ma’mul, hal. 17)
Belum layak disebut ‘alim jika belum beramal
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Ilmu tidaklah dituntut melainkan supaya diamalkan. Yaitu dengan mewujudkan ilmu dalam praktek nyata, yang tampak dalam pola pikir seseorang dan perilakunya. Terdapat nash-nash syari’at yang mewajibkan untuk mengikuti ilmu dengan amalan dan agar akibat dari ilmu yang dipelajari muncul pada diri orang yang menuntut ilmu. Dan terdapat ancaman yang keras terhadap orang yang tidak beramal dengan ilmunya. Begitu pula bagi orang yang tidak memulai perbaikan dari dirinya sendiri sebelum memperbaiki diri orang lain. Dalil-dalil tentang hal itu sudah sangat populer dan dikenal. Sungguh indah ucapan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seorang ‘Aalim itu masih dianggap Jaahil (bodoh) apabila dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka jadilah dia seorang yang benar-benar ‘Aalim”. Ini adalah ungkapan yang sangat tepat. Karena apabila seseorang memiliki ilmu, akan tetapi dia tidak mengamalkan ilmu maka dia tetap disebut jahil. Sebab tidak ada perbedaan antara keadaan dirinya dengan keadaan orang yang jahil. Apabila dia berilmu tetapi tidak mengamalkannya maka orang yang alim itu belumlah pantas disebut sebagai orang berilmu yang sesungguhnya, kecuali bila di sudah beramal dengan ilmunya.” (Hushulul Ma’mul, hal. 16).
Malik bin Dinar mengatakan, “Seorang alim apabila tidak mengamalkan ilmunya maka nasihatnya akan mudah sirna dari hati manusia sebagaimana mengalirnya tetesan air hujan yang mampir di atas batu yang licin.” (Disebutkan oleh AI-Khathib Al-Baghdadi dalam Iqtidha’ul ‘ilmi al-‘amal. Islamspirit.com)
Kebahagiaan ilmu
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Adapun kebahagiaan ilmu, maka hal itu tidak dapat kamu rasakan kecuali dengan cara mengerahkan segenap kemampuan, keseriusan dalam belajar, dan niat yang benar. Sungguh indah ucapan seorang penyair yang mengungkapkan hal itu,
Katakanlah kepada orang yang mendambakan
Perkara-perkara yang tinggi lagi mulia
Tanpa mengerahkan kesungguhan
Berarti kamu berharap sesuatu yang mustahil ada
Penyair yang lain mengatakan,
Kalau bukan karena faktor kesulitan
Semua orang pasti menjadi pimpinan
Resiko dermawan adalah kemiskinan
Resiko keberanian adalah kematian
(Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 111).
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, apa-apa yang kami sebutkan terkait dengan keutamaan menimba ilmu, sesungguhnya itu semua hanya diperuntukkan bagi orang yang mempelajarinya karena menginginkan wajah Allah ta’ala (ikhlas), bukan karena motivasi duniawi. Barangsiapa yang belajar karena dorongan dunia seperti; harta, kepemimpinan, jabatan, kedudukan, popularitas, atau supaya orang-orang cenderung kepadanya, atau untuk mengalahkan lawan debat dan tujuan semacamnya maka hal itu adalah tercela.” (Muqadimah Syarh Al-Muhadzdzab [1/37], dinukil dari Muqaddimah Tahqiq Syarh Muslim, jilid 1. hal. 64)
Allahumma inna nas’aluka ‘ilman naafi’an, wa rizqan thayyiban, wa ‘amalan mutaqabbalan. Wa shallallahu wa sallama ‘ala ‘abdika wa rasulikal mushthafa wa ‘ala aalihi wa shabihi wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumid diin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Selesai disusun ulang, Selasa 11 Dzulhijjah 1429 H